Mati Gaya Saat Menulis.
Mengejar materi yang tertinggal pada komunitas Belajar Menulis Gelombang 16 sungguh melelahkan, terlebih sudah empat pertemuan aku tidak dapat membuka pesan-pesan yang tersebar dibeberapa grup komunitas para penulis dan blogger. Hampir 1600an pesan yang tidak aku buka, tentu beberapa pesan penting telah tertelan pesan-pesan lain yang bersifat obrolan antar anggota grup.
Perasaan yang tidak tidak menentu mengelayuti ruang benakku. Rasanya ingin kusudahi saja kegiatan belajarku sampai disini tanpa ada hasil yang signifikan yang aku miliki. Semakin hari aku mengejar materi dari beberapa narasumber seakan semakin jauh aku tertinggal.
Disela kegamangan yang aku rasakan jujur aku mulai merasa kesulitan dari mana aku memulai semua ini. Taka da yang dapat aku jadikan sumber inspirasi, dan tak ada yang dapat aku tuangkan pada blogku kali ini. Aku hanya memandangi gawai yang semakin hari semakin bertambah saja chat pada media sosial WhatsApp. Sampai pada satu ketika sahabatku yang selalu memotivasi dan menguatkan agar aku tidak patah arang. “Ayo semangat!” begitulah ia mengingatkanku. Seketika gairah menulisku pun mulai kembali bangkit dari mati suri.
“MATI GAYA”, mungkin ini yang aku rasakan saat ingin memulai menulis seakan buntu dan terbentur benteng yang kokoh. Hingga aku dipertemukan melalui media sosial WhatsApp pada orang-orang yang memiliki daya kenyal terhadap benturan yang kuat sekalipun. Bukan suatu kebetulan jika kita dipertemukan orang semacam itu, tetapi semua sudah diatur oleh yang memiliki kekuasaan untuk mengatur (Allah Swt) itulah yang disebut qadarallah.
Mengenai materi pada pelatihan kali ini, ibu Ditta Widya Utami, S.Pd, dengan dipandu ibu Kanjeung pun memulai prolog yang tidak jauh berbeda dengan apa yang aku rasakan. Dalam berbagi pengalaman dan tips dalam menulis dan menerbitkan buku Ibu Ditta, mengawali materi dengan pertanyaan "Bagaimana Memulai Menulis".
Berbeda dengan yang lain ibu Ditta memang dari sejak kecil senang menulis dan jadi penulis. Betul apa yang sampaikan oleh beliau bahwa ketika harus menulis buku atau menulis di blog, rasanya seperti seorang pelari yang tiba-tiba menghantam dinding tebal. Bagai petinju yang tiba-tiba KO. Atau pecatur yang langsung skakmat. Entah apa yang terjadi, seolah semua ide lenyap begitu saja. Tangan tiba-tiba sulit menulis, bahkan lidah terasa kelu.
Kiat-kiat Menghadapi Kebuntuan Dalam Menulis.
Dari lima tips yang diberikan itu sebenarnya hanya satu yang tidak
aku lakukan yaitu ikut lomba menulis. Untuk tips yang satu ini aku harus
berpikir dahulu, sebab jujur aku merasa perlu banyak belajar dan memahami gaya
menulisku yang lebih doinan.
Era 4.0 Memudahkan Kita Dalam Menulis
Sejak SMP aku sudah suka menulis, hal ini dipicu kebiasaan kakak
tertuaku (kini telah tiada) sangat mahir menulis banyaknya kata mutiara. Di
masa SMP aku suka saling tukar-menukar buku diary ini tentu banyak dialami anak
dimasa sebelum tahun 1980. Dari pengalaman itu mempengaruhi gaya menulisku yang
kadang melankolis gitu sih. Mungkin karena awalnya sering membaca kata-kaa
mutiara. Sedangkan dalam hal membaca sejak Sekolah Dasar suka sekali membaca
komik Hans Christian Andersen, Tatang S. Armin Tanjung, dan banyak lagi sayang
aku sudah banyak lupa nih. Pada masa itu pokonya komik menjadi bacaan yang
sangat menarik bahkan menjadi masa keemasan dijamannya.
Kini zaman pun sudah berubah banyak sarana aplikasi untuk membaca
dan menulis, terlebih saat situasi pandemic sekarang ini. Era 4.0 memudahkan
kita untuk melakukan aktifitas batasan ruang dan waktu. Saat ini menulis dapat
dilakukan pada blog yang kita miliki. Buku harian, HP/laptop atau platform
menulis online seperti wattpad dan storial dapat menjadi sarana menulis. Bahkan
media sosial WhatsApp, Telegram, facebook, Instagram dan lainnya pun dapat
menjadi sarana menulis. "Menulis dimana saja yang penting rutinkan
atau buat target berapa tulisan yang harus dibuat dalam sehari, seminggu,
sebulan, dst". demikian ungkapan yang beliau sampaikan.
Terbitkan buku
Hasil menulis pada blog, jurnal harian atau pada draf-draf yang
ada di computer atau leptop menurut beliau dapat menjadi kumpulan
tulisan. Bahkan apa yang kita torehkan bisa saja menjadi sebuah buku yang layak
untuk diterbitkan dan mengundang perhatian orang untuk membacanya. Telah
terbukti banyak alumni menulis bersama Om Jay mampu menghasilkan karya apiknya.
Mau menulis buku solo atau kolaborasi? beliau memberikan gambaran
tentang keduanya. Untuk buku solo, tema dan waktu tentu kita bebas
menentukannya dan dateline kapan mau rampungnya. Apakah seminggu, sebulan,
bahkan menahun. Proses pengajuan ke penerbit dan yang lainnya harus diurus sendiri.
Adapun menulis bersama
atau gotong royong, tulisan yang kita buat harus sesuai tema. Bahkan aturan
atau ketentuan serta waktunya pun sesuai yang dijadwalkan. Untuk prosesnya
sudah ada yang handle. Begitu pula dengan biaya. Dengan menulis bersama, biaya
yang dikeluarkan bisa lebih murah sebab ditanggung secara bersama-sama. Dalam
menulis beliau pernah berkolaborasi di bawah asuhan Bu @Sri Menulis dan Pak
@Brian Menulis
![]() |
Buku solo pertama tentang kisah anak didik beliau |
Demikian resumku ini semoga bermanfaat dan tetap semangat.
![]() |
Buku karya bersama (antologi) |
singkat tapi mengena dihati...
BalasHapusBarokallah pak Adam...
Syukran bu
Hapus