BAHAGIA TAK HARUS KAYA
Oleh : Surmanto Adam
Keliru Memandang Bahagia
Tidak ada satu manusia
pun yang menginginkan hidup susah. Jika kita bertanya pada seorang pemulung,
pengemis bahkan pekerja sex komersial tentang “Apakah anda ingin hidup
bahagia?” tantu saja mereka menjawab “iya!” hanya saja banyak diantara mereka
tidak memahami hakikat hidup bahagia itu seperti apa.
Menjadi orang sukses
hidup berkecukupan bahkan bergelimang harta tentu menjadi harapan setiap orang.
Bagaimana tidak segala kebutuhan hidup dapat ia penuhi dengan mudahnya. Rumah
megah, kendaraan super mewah, travling hingga ke belahan bumi yang disukai bahkan
ia masih mampu mendapatkan segala apa saja yang ia inginkan dengan harta yang
dimilikinya. Setidaknya demikian gambaran kecil kehidupan sebagian orang yang dianggap bahagia.
Banyak diantara kita
cenderung keliru dalam memahami arti bahagia. Jika hanya sebatas ungkapan di
atas tentu kurang tepat sebab sejatinya kebahagiaan itu mencakup dua hal yaitu
kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Seburuk apa pun tabiat seseorang
ketika diminta memilih apakah kebahagiaan dunia atau kebahagiaan ahirat tentu
akan menginginkan keduanya.
Ada satu kisah yang
mungkin akan membuka mata hati kita semua tentang kehidupan manusia pada zaman
Nabi Isa AS ketika ia bersama para sahabatnya yangberjulah 12 orang berdawah
dari satu tempat ke tempat lain hingga memasuki sebuah desa yang kosong, namun
sepanjang jalan yang dilaluinya bergelimpangan jasad para penduduk desa
tersebut. Nabi Isa pun berkata “Wahai
para hawariku,(pengukut setia) sesungguhnya orang-orang ini meninggal karena
kemarahan (Allah). Jika bukan karena itu tentu saja mereka masih sempat
menguburkan satu sama lainnya!” Kaum
hawariyyun pun berkata, “Wahai kekasih
Allah, kami ingin mengetahui kisah tentang mereka ini!”
Nabi Isa pun berdoa dan
atas izin Allah pada malam harinya ia dapat memanggil penduduk desa sehingga
salah seorang datang memenuhi panggilan. Dari tempat yang agak tinggi ia dan
pengikutnya melihat orang itu mendekat, Nabi Isa berkata, “Bagaimana keadaanmu dan bagaimana kisahmu?” Dan orang itu
menjawab, “Kami bermalam dalam keadaan sehat wal afiat, namun kami bangun pagi
dalam neraka hawiyah” “Bagaimana bisa terjadi?” tanya Nabi Isa. Orang itu pun menjawab, ”Semua itu karena kami sangat mencintai dunia dan kami taat pada orang
yang berbuat maksiat!” Nabi Isa pun
bertanya, “Bagaimana kecintaanmu terhadap
dunia?” orang itu menjawab, “Kami
para penduduk desa mencintai dunia sebagaimana seorang anak kecil mencintai
ibunya. Jika dunia datang (harta benda)kami sangat gembira, namun jika itu
tidak ada kami sangat sedih dan menagis!”
“Lalu bagaimana dengan
teman-temanmu, mengapa mereka tidak datang memenuhi panggilanku?” tanya
Nabi Isa kembali, “Mereka dikendalikan
dengan api neraka, di tangan para malaikat yang kasar dan keras!” “Tapi
bagaimana denganmu, mengapa dapat memenuhi panggilanku?” Orang itu menjawab, “Aku memang berada di antara mereka, namun aku tidak termasuk di antara
mereka (artinya tidak terlalu mencintai dunia dan tidak suka berbuat
maksiat) ketika siksaan Allah datang
kepada mereka, siksaan itu menimpa aku juga. Karena itu aku hanya tergantung di
tepi neraka, tetapi aku tidak tahu apakah aku selamat atau jatuh kedalam
neraka? dan Allah mengijinkan untuk
datang ketika engkau memanggil kami!” Nabi Isa pun mengucapkan terima kasih dan
orang itu lenyap dikegelapan malam. Nabi Isa AS bersabda, “Sungguh memakan sepotong roti sya’ir (roti kasar berkualitas
rendah) memakai pakaian sederhana dan tidur di dekat tempat sampah lebih banyak mambawa
keselamatan (kebahagiaan) dunia dan akhirat!”
Dari kisah tersebut
tentu kita akan mampu memahami bagaimana kebahagiaan sesungguhnya. Sebab
sejatinya kebahagian itu adalah sesuatu yang mampu membawa keselamatan dunia
dan akhirat. Harta kekayaan yang kita miliki hendaknya menjadi perantara atau
jalan bagi kita untuk selalu dekat kepada Allah bukan sebaliknya harta kekayaan
dimiliki akan menyebabkan pemiliknya dihinggapi penyakit al wahn, yaitu
penyakit cinta berlebihan terhadap dunia dan takut akan kematian. Jika itu
terjadi maka kemiskinan yang didasari kesabaran, ketaatan dan rasa syukur
kepada Allah akan lebih baik bagi diri kita.
Allahu’alam,
Semoga bermanfaat dan
tetap semangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar