Sabtu, 17 Oktober 2020

Kekuatan Doa


Rasa Khawatir itu Telah Aku Titipkan

Oleh : Surmanto Adam
Senin, 24 Agustus 2020

Melawan Diagnosa Medis


Minggu, 15 Maret 2020 udara memang sedikit panas. Ya, lumayan gerah dan keringat mulai mengalir membasahi sebagian tubuh. Kipas angin sudah di angka tiga, namun tetap saja tidak mampu mengurangi hangatnya udara hari itu. Daun jendela rumahku sudah terbuka lebar namun mau bagaimana lagi angin di luar sana sepertinya enggan bermain di teriknya matahari. 

Tepat di ruang tamu aku melihat Dwi Syaraswati istriku sesekali meringis kesakitan. Ia nampak menahan rasa sakit yang begitu kuat di perutnya yang sudah sangat besar. Belum lagi pada kaki-kakinya yang ikut menambah rasa sakit dan bengkak. Terkadang ia menahan napas hanya untuk menahan rasa sakit yang sesekali datang. Seandainya aku mampu memindahkan sakitnya tentu aku akan menanggung sakit itu. Namun aku tidak mampu berbuat banyak. Yang dapat ku lakukan hanya mengusap kaki dan perut besarnya saja.

Sudah sembilan bulan lebih usia kehamilan istriku. Tanda demi tanda nampak pada intensitas rasa sakit yang datang sekitar  15 menit sekali. Si jabang bayi mulai tidak terlalu agresif bergerak, memang agak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Mungkin ini pertanda ia sudah ingin melihat terangnya dunia.

Selepas Asar aku antar istri ke bidan terdekat. Dengan motor metik tua istri dan Amiirah anak kedua ku bawa perlahan. Tiba di rumah bersalin  bersyukur antrian tidak banyak, jadi tidak menunggu terlalu lama. Istriku masuk sebuah kamar, namun tidak begitu lama ia keluar sambil menahan rasa sakitnya. "Abi, ayo kita ke rumah sakit terdekat dulu untuk cek tensi dan cek laboratorium". Tidak banyak bertanya segera saja kami beranjak pergi.

Di rumah sakit dekat sebuah pasar tradisional aku antar istri menuju laboratorium. Ada satu pasien yang sudah menunggu antrian. Duduk kami pada ruang tunggu dan tidak begitu lama giliran istriku masuk ruang laboratorium. Nampak petugas memeriksa tensi dan mengambil sampel darah. Uji klinik oleh tenaga medis mulai dilakukan. Kurang dari 25 menit hasilnya sudah dapat diketahui. 150/100 dan kategori protein tingkat 2. Dengan hasil ini menunjukkan istriku tidak bisa melahirkan secara normal.

Gundah dalam batinku mulai meningkat namun aku tetap berusaha tenang. Kami putuskan untuk kembali pulang dengan kekhawatiran yang mendalam dan terus menghantui. Namun tidak bagi istriku, ia nampak penuh keyakinan akan dapat melahirkan secara normal. Aku mulai sadar bahwa kekuatan hati akan mengantarkan pada apa yang diyakininya. Kembalinya kami hanya untuk mencoba menenangkan hati agar tidak semakin kalut. Berharap pada Allah semoga  ada perubahan beras setelah kami pulang.

Menjelang maghrib kembali kami ke rumah bersalin. Tiba waktu salat Kutinggalkan istri dan anakku  pergi ke masjid terdekat. Entah seberapa banyak dan penuh yakin aku memohon kemudahan bagi istriku tercinta. Sebab hanya doa yang akan menjawab segala kekhawatiran yang aku rasakan. Sekembalinya dari masjid kutanyakan apa yang telah disarankan. Dengan bukti hasil laboratorium tetap saja bidan memberi saran agar istriku harus diambil tindakan cesar. Namun aku bangga istriku tetap saja yakin akan dapat melahirkan secara normal.

Di tengah kerisauan teringat teman sejawat, Pak Ruhyat tinggal tidak jauh dari rumah bersalin. Aku coba menghubunginya untuk meminta bantuan kendaraan mobil sebab istriku harus segera mencari rumah sakit lain. Qodarallah beliau ada di rumahnya dan siap membantu. Segera saja ku pacu si metic tua hinga akhirnya tiba di rumahnya. Tidak banyak yang kami bicarakan dan segera saja istri dan anakku diantar sedang aku mengiringinya.

Bersyukur jalan tidak begitu macet hingga kami  sampai di sebuah rumah sakit swasta ternama. namun sayang tim medis di sana pun menyarankan ambil tindakan cesar. Beliau melihat hasil cek laboratorium. Namun tetap saja istriku berkeyakinan dapat melahirkan secara normal. "Segera cari rumah sakit lain bu, ini sudah larut malam khawatir nanti tidak dapat rumah sakit!" ujar petugas medis. 

Segera saja kami beranjak dari sana tanpa tahu kemana kami akan pergi. Sepanjang perjalanan mengantar istri, aku titipkan rasa khawatir pada Allah. Jika istriku saja mampu menghadapi ujian ini mengapa aku kurang yakin terhadap semangatnya. Ya, aku harus yakin istriku akan melahirkan normal. Keyakinan itu semakin kuat karena istriku begitu kuat.

Amiirah ku titipkan pada kakak iparku yang kebetulan sudah dihubungi dan kuminta  untuk menjemputnya. Aku menyusul teman yang membawa istriku mencari rumah sakit terdekat.  Tibalah kami pada sebuah rumah sakit. Istriku langsung masuk ruang IGD dengan diantar bidan rumah sakit. Bidan langsung mengambil tindakan bahkan melayani dengan sangat ramah. Sesekali bertanya pada istriku sambil memeriksa kembali tensi (tekanan darah) dan cek kadar protein.

Di tengah kegamangan akan hasil yang ku tunggu, aku tinggalkan istri untuk aku memohon pada Allah Sang Penentu Keputusan. Aku hanya tahu Allah pasti mengabulkan doa-doa yang dipanjatkan hambanya sejauh hamba memohon dengan penuh keyakinan. Sekembali aku bermunazat benar saja tekanan darah normal dan protein istriku menunjukan tingkat satu itu artinya istriku dapat melahirkan secara normal.

Detik-detik Pembukaan Sembilan

Dengan hasil yang membuat kami tenang segera saja istruku diantar ke ruang bersalin lantai dua. Aku menyiapkan menyelesaikan administrasi rawat inap dan persalinan. Selesai mengurus semua administrasi aku beranjak menuju ruang bersalin. Diruang itu istriku sudah berbaring di atas ranjang persalinan. 

Waktu menunjukan pukul 24.00, rasa sakit sesekali datang. Aku hanya mampu memandang wajah istriku yang diliputi rasa sakit. Sesekali ia bergumam "Abi sakit bi!", mendengar rintihannya aku tidak mampu berbuat banyak, "Sabar cinta, banyaklah memohon pada Allah, dan berzikirlah semampu kita!". kataku menguatkan semangatnya. Sejujurnya rasa tegangku semakin waktu semakin bertambah. Aku tidak memiliki kekuatan apa pun, yang aku mampu hanya melafalkan kalimat-kalimat permohonan pada Allah Zat Yang Maha Menentukan.

Mataku menatap sebuah jam dinding di sudut ruang, jarumnya menunjukkan angka 12.30 WIB. Tidak terasa kini sudah pukul setengah satu, rasa sakit pada perut istriku pun semakin kencang. "Abi kok lama sih?", tanya istriku. Terkadang aku dimintanya menemui bidan jaga, tapi aku berpura-pura menurutinya dan ku katakan "Iya nanti dilihat katanya!", kataku hanya sekedar memberi ketenangan. 

"Abi antar Ummi ke toilet!" ucap istriku  "Hayu, tapi pelan-pelan (perlahan) saja!", kataku. Sungguh tidak tega aku melihat rasa sakit dengan tangan diinfus seperti ini. Aku menunggu persis di depan pintu toilet dengan sedikit kantuk yang sejak tadi ku lawan. Sesekali ku sandarkan kepalaku hanya untuk memberi rasa rileks. Namun semua usaha telah ku lakukan tetap saja otot dan pikiranku semakin kencang.

Duapuluh lima menit berselang pintu toilet pun terbuka, "Abi tolong bantu pegang kain ini!", sontak saja aku terperanjat melihat istri yang membersihkan cairan begitu banyak. Dalam benakku pun bertanya mungkinkah ini yang dimaksud ketuban entah apa lah namanya. Semakin kencang saja degub jantungku melihat apa yang nampak di kedua mataku ini.

Kuantar istri tercintaku menuju ranjang persalinan, "Abi, tolong panggilkan bidan dong!", lirih kudengar dari bibir istriku yang nampak  merintih menahan sakit. Segera saja aku keluar dari ruang persalinan. Kucari pintu menuju ruang bidan, setengah kalut aku mencari dimana pintunya sebab memang aku belum tahu. Untung saja ruangan itu tampak jelas karena hanya dibatasi dinding kaca. Seorang bidan muda menanyakan dari dalam, "Ada apa pak?", tanyanya, "Maaf Bu Bidan, istri saya nampaknya sudah mengeluarkan cairan!". Sejenak ia diam dan sambil merapikan beberapa alat persalinan. "Bapak tunggu saja ya di ruangan, nanti saya lihat!", ucapnya dengan ramah.

Sekembaliku dari ruang bidan istriku langsung menanyakan, "Mana abi bidannya?", sepertinya memang semakin sakit yang dirasakan. "Sabar ya Cin, nanti juga datang!", benar saja tak seberapa lama datang dua orang bidan dengan perlengkapan persalinan. "Bapak tolong beli pembalut besar ya, di depan rumah sakit ini ada mini market!", minta salah satu bidan padaku, "Baik sus!" kataku sambil melangkah pergi.

Masa Yang Menegangkan

Semua persiapan telah hampir rampung, perlengkapan medis pun sudah nampak disiapkan satu persatu. Dokter kandungan sudah datang dan memeriksa perkembangan istriku. Semakin sakit nampak dirasakan istriku. Aku hanya mampu memberikan semangat dan batin tak pernah kulepaskan dari bermunazat pada Allah. Aku telah menitipkan semua kegelisahan disetiap doa-doa dengan penuh pengharapan. 

Kesibukan bidan dan dokter mulai nampak, bersyukur lebih dari lima orang bidan membantu persalinan istriku. Jerit dan rintihan semakin keras saja, tersengal nafas istriku sesekali begitu berat. Keringat deras bercucuran membasahi kening. Para bidan memberikan semangat tak pernah henti-hentinya. Kuhadapi semua dengan sedikit tenang dan sesekali menyeka cucuran keringat istriku.

"Abi, ummi  tidak kuat lagi!", terdengar lirih di telingaku. "Ummi pasti kuat, abi temani di sini kok!". kataku memberikan semangat. "Wah, ibu hebat!", ucap beberapa bidan yang membantu persalinan, "Ayo bu sedikit lagi!", ucap bidan. Jujur saja aku tidak sanggup melihat  perasaan sakit istruku. Berkali-kali pula aku hanya mampu berdoa atas keselamatan bagi mereka orang yang ku cintai. Ini adalah kali kedua aku mendampingi istri dalam proses persalinan setelah Amiirah Ashma' Fikriyyah, itu pun sepuluh tahun silam. Anak pertamaku saja Abdul Harits Syahiir Muyassar yang tidak dapat aku dampingi kelahirannya, karena bidan melarang  tidak ingin mengganggu kerjaku ketika itu.

Agak sedikit kaget aku melihat anak ketigaku lahir dengan berat 4 kilogram dan panjang 52 centimeter. "Wah, ada monasnya!", ucap seorang bidan dengan nada senang telah mampu membantu persalinan istriku. "Tadi itu agak sulit keluar karena salah satu punggung bayi tidak dapat keluar sempurna, makanya agak sedikit dibantu!", ujar bidan yang lain. Dokter segera mengurus dan memeriksa si kecil dan seketika itu terdengar tangis yang keras dari anakku.

Bahagia yang tak dapat aku ungkapkan dengan kata-kata, aku hanya mampu mengucakkan rasa syukur kepada Allah Subhanallahu wata'ala. DIA-lah yang telah mengatur segala urusan manusia dan DIA-lah  mampu menyempurnakan apa yang dikehendaki. Kini aku merasa lebih bahagia saat Muhammad Tsaqif Asy-Syuja'i mengisi hari-hari keluarga ku di masa pandemi ini.

Kini tidak terasa usia Tsaqif (nama yang sering dipanggil tetangga) telah memasuki tujuh bulan belum lama ia mengalami demam tinggi. Rasa gelisa menghantui aku dan istri. Keadaan ini terjadi sekitar tiga hari, tidak ingin terjadi sebagaimana abangnya dulu harus rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah maka segera saja kularikan ke sebuah klinik yang biasa kami berobat saat mengalami kondisi kurang sehat. Benar saja Tsaqif mengalami gangguan pencernaan, mungkin karena sesekali ia diberi kerupuk. Syukurlah kini ia telah sehat kembali. Hari-hari menyenangkan tertata kembali.

Terima kasih istriku, terima kasih untuk semua yang telah menguatkan kondisi saat itu. Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kita semua. aamiin 




2 komentar:

  1. Masya Allah, ibu yang hebat dan kuat, suami yang luar biasa!
    Turut tegang saya membaca kisahnya, Pak.
    Keren.
    Semoga putra bapa tetap sehat dan sukses dunia akherat. Aamiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. aterima kasih kakakku yang baik atas segalanya

      Hapus

RELEVANSI In House Training (IHT) KURIKULUM MERDEKA TERHADAP PENGEMBANGAN KETERAMPILAN GURU

Oleh S. Adam Abu Tsaqif Bekasi, 3 Agustus 2023           Cikal bakal Kurikulum Merdeka diawali dengan adanya Kurikulum Darurat sebagai upa...